Elfrida Dorowati, istri mantan Wali Kota Siantar Robert Edison Siahaan tak terima rumah warisan ayahnya sejak tahun 1993 menjadi objek sitaan KPK dan dilelang tahun 2016.
Padahal, rumah warisan tersebut tak ada kaitannya dengan perkara korupsi yang menjerat suaminya tahun 2012.
Kepada reporter Tribun Medan, Elfrida Dorowati pun memohon agar kasus yang dialaminya mendapat perhatian dari Presiden Joko Widodo
Sebab, KPK mengambil rumah warisannya yang tak ada kaitan dengan kasus suami. Saya mohon Pak Presiden Jokowi. Itu rumah pemberian orangtua saya. Perkara di pengadilan pun tidak ada menyebut rumah itu," katanya.
Elfrida mengakui suaminya telah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Tipikor Medan. Suaminya, RE Siahaan divonis 8 tahun penjara dengan denda Rp 100 juta subsidair 4 bulan.
Kemudian dikenakan Uang Pengganti (UP) kerugian negara sebesar Rp 7,7 miliar yang mana apabila tidak dibayar dalam 1 bulan akan dikenakan penjara selama 4 tahun.Majelis hakim masa itu tidak menyertakan rumah warisan Elfrida Dorowati sebagai objek yang dirampas untuk negara di dalam putusannya.
"Itu rumah orangtua saya dikasih ke saya di Jalan Sutomo No 10 Kelurahan Proklamasi, Kecamatan Siantar Barat. Sebelum bapak (suami) saya menjabat sebagai wali kota itu rumah sudah ada. Itu dulu rumah dibeli oleh Almarhum Orangtua saya yang saat itu kebetulan Kepala Dinas PU," kata Efrida.Sejak penyidikan hingga proses persidangan berlangsung, kata Efrida, tak ada disebut-sebut warisan orangtuanya sebagai hasil dari tindak pidana korupsi.Sebab keberadaan rumah tersebut jelas asal-usulnya.
"Kemudian di perkara suami, itu rumah tidak disinggung-singgung. Cuma itu diblokir oleh KPK. Kami kemudian melapor ke KPK tolong minta itu dibuka blokirannya. Kemudian uang sekolah anak-anak di rekening juga diblokir," katanya.
"Kami ke KPK untuk bertemu dengan seseorang bernama Hendra dia Jaksa KPK, untuk mempertanyakan ini. Karena dalam perkara Bapak ini tidak pernah disinggung soal ini (rumah warisan)? Padahal bapak sudah vonis 2013, kemudian ada eksekusi tiba-tiba tahun 2016. Ada apa? Ini kami duga surat palsu," katanya.
Kami ke KPK untuk bertemu dengan seseorang bernama Hendra dia Jaksa KPK, untuk mempertanyakan ini. Karena dalam perkara Bapak ini tidak pernah disinggung soal ini (rumah warisan)? Padahal bapak sudah vonis 2013, kemudian ada eksekusi tiba-tiba tahun 2016. Ada apa? Ini kami duga surat palsu," katanya. Elfrida mempertanyakan apa dasarnya Jaksa KPK melelang rumahnya sementara objek tersebut tidak ada dalam putusan pengadilan.
Apalagi suaminya, RE Siahaan sudah menjalani masa hukuman di tahun ke-9 lantaran tidak membayar uang pengganti kerugian negara.
"Saya nanya ke jaksanya mengenai rumah itu? Apa dasar bapak melelang rumah saya? Katanya lapor saja ke pengadilan. Katanya kalau ibu gak senang lapor saja ke pengadilan!," ucap Efrida menirukan percakapan yang terjadi sebelumnya.
Perbedaan makna atau pengertian antara putusan pengadilan dan salinan eksekusi KPK ini pun tak pelak menurut keluarga dan penasihat hukum RE Siahaan merupakan penyalahgunaan wewenang dan atau merupakan surat palsu yang dilakukan Jaksa KPK.
Apa yang dilakukan Jaksa KPK mengakibatkan kerugian material dan moral yang diderita terpidana RE Siahaan senilai Rp 15 miliar, sehingga oleh keluarga mengadukan hal ini ke Bareskrim Polri tahun 2019.
Sumber: Tribun com
0 Komentar