Aksi Mahasiswa Tolak Kenaikan UKT

 


Jakarta, Growmedia-indo.online-

Era kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berbiaya murah sudah berakhir sejak pemerintah mengubah status beberapa PTN menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Padahal, sebagian besar PTN tersebut merupakan kampus favorit, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Kampus yang dulunya menjadi impian anak bangsa merajut masa depan dari berbagai kalangan makin tak tergapai seiring melambungnya uang kuliah. Lolos ujian masuk PTN tidak saja menjadi kabar gembira bagi orangtua, tetapi menjadi kabar lara ketika melihat tagihan uang kuliah yang tak sesuai harapan.

Belum Profesional

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang membuat uang kuliah menjadi selangit. Regulasi itu menjadikan PTN menjadi berbadan hukum dan memberinya otonomi mengelola anggaran rumah tangga dan keuangan. Meski tetap mendapat subsidi pendidikan dari negara, tapi PTN BH bebas berinovasi meningkatkan tambahan pendapatan (income generative), baik dari masyarakat, maupun kerja sama dengan industri. Harapannya, dana tersebut berguna untuk peningkatan mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi, serta menaikkan pendapatan sivitas akademik.

Idealnya peningkatan pendapatan kampus berasal dari kerja sama dengan industri yang saling menguntungkan, seperti kegiatan bersama menghasilkan produk unggulan, pembuatan prototipe produk, hingga pelatihan. Tapi faktanya PTN kita belum mampu menghasilkan jasa dan produk yang diterima pasar atau bisa dikatakan belum profesional. Beberapa kampus memang mewujudkannya, tapi sebagian besar ambil jalan pintas, yakni menaikkan uang kuliah --sekarang diistilahkan Uang Kuliah Tunggal (UKT)-- sebagai pendapatan tambahan.

Menaikkan UKT memang cara gampang dan ampuh mengejar peningkatan pendapatan. Nama besar PTN masih menjadi berhala bagi orangtua sebagai sarana kesuksesan anak-anaknya. Meskipun harus menjual harta tercinta ataupun mencari pinjaman, asalkan anak bisa mengecap PTN favorit segala cara pun dilakukan oleh orangtua. Tapi, melihat kenyataan akhir-akhir ini PTN semakin gila-gilaan menaikkan uang kuliah, bahkan mencapai 200 hingga 300 persen, pasti akan semakin banyak calon mahasiswa baru meratap di negeri yang konstitusinya mengatakan bahwa pendidikan adalah hak dasar rakyat yang harus dijamin negara.

Mengabaikan Hak Rakyat

Pasal 31 UUD 1945 jelas bertutur bahwa pendidikan adalah hak dasar yang harus dijamin oleh negara atas rakyatnya. Perubahan PTN menjadi berbadan hukum sama saja mengabaikan hak pendidikan rakyat yang seharusnya dijamin oleh negara. PTN BH tak ubahnya perusahaan dagang yang berorientasi pada keuntungan (komersialisasi pendidikan) dan bersifat bisnis. Pendidikan tidak lagi hak publik (public good), tetapi menjadi hak pribadi (private good).

Kalau sudah demikian, pendidikan tinggi hanya dinikmati pihak tertentu yang punya harta, tahta, dan kuasa. Masyarakat menegah ke bawah, meskipun pemerintah membuka akses melalui beasiswa orang miskin, tetap saja belum memenuhi azas keadilan dan pemerataan atas pendidikan berkualitas. Apalagi lokasi PTN favorit berada di berbagai kota besar, tentu membutuhkan biaya hidup yang lebih besar.

George Ritzer dalam bukunya The McDonaldization of Society (1993) mengistilahkan komersialisasi yang terjadi di dunia pendidikan tinggi Indonesia sebagai McDonaldisasi. Pendidikan tinggi tidak ubahnya gerai makanan cepat saji (fast food) yang mempunyai standar waktu yang cepat agar hamburger cepat sampai ke konsumen. Yang penting punya uang, hamburger dapat disantap.

UKT dibuat mahal sebagai ancaman sekaligus peluang mahasiswa cepat tamat. Dikatakan ancaman karena mahasiswa diancam segera menyelesaikan kuliah kalau tak mau ditagih uang kuliah selangit. Mahasiswa terancam tak mengikuti kegiatan di luar kuliah, seperti dunia aktivis, organisasi, dan kegiatan lainnya. Sedangkan disebut sebagai peluang sebab mahasiswa akan serius belajar dan tak berkeinginan berkegiatan di luar pembelajaran, seperti organisasi atau aktivis kampus agar kantong orangtua tidak semakin jebol. Kehidupan kampus yang seharusnya erat dengan kehidupan masyarakat tidak ada lagi, seiring semakin padamnya dunia gerakan mahasiswa yang dulu menjadi kekhasan perguruan tinggi.

Dengan bahasa lain, kampus sudah menetapkan bahwa kuliah hanya tempat belajar dan meraih gelar sarjana, bukan untuk kegitan lain-lain. Untuk itu, kampus sudah merancang sistem paket mata kuliah agar mahasiswa cepat selesai. Pemahaman dan kedalaman materi tidak lagi penting sebagai kriteria kelulusan. Pada tingkat yang ekstrem, bisa saja seseorang tidak pernah hadir kuliah, tapi bisa lulus dan menjalani wisuda untuk memperoleh gelar sarjana, asalkan sanggup membayar UKT yang mahal.

Dalam konteks inilah seharusnya pemerintah menyadari bahwa di balik komersialisasi PT tersimpan masalah yang dahsyat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah melanggar konstitusi atas jaminan pendidikan dasar bagi rakyat. Terbukti, sejak kenaikan uang kuliah angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) makin jeblok, di bawah rata-rata global yang 40 persen. Protes masyarakat, jeritan mahasiswa, bahkan tangisan mahasiswa di depan rektor atas uang kuliah selangit tidak bisa hanya direspons dengan berbagai alasan yang lebih pro kepada pasar dibandingkan rakyat.

Benar, segala sesuatu butuh uang, tapi bukan berarti seluruh kebutuhan uang dibebankan kepada rakyat. Pemerintah, baik Kemendikbudristek maupun PTN, mempunyai tanggung jawab untuk mencari solusi yang tidak memberatkan mahasiswa. Rencana pemerintah memberi pinjaman pendidikan bagi mahasiswa mendesak direalisasikan. Begitu juga dengan layanan program beasiswa pendidikan juga perlu ditingkatkan agar lebih efektif menjangkau mereka yang benar-benar membutuhkan.

Dan, yang lebih penting adalah Rektor PTN harus dapat menggalang dana dari luar, baik melalui jejaringnya maupun menjadi pusat keunggulan yang produk dan jasanya juga diterima oleh pasar. Jika tugas perguruan tinggi adalah menghasilkan alumni yang berdaya saing, seharusnya mudah mendapatkan pendapatan tambahan. Ataukah tugas itu hanya sekadar slogan?


Sumber: detik.com

0 Komentar