Growmedia-indo.online-
Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi kerap memberatkan mahasiswa. Penentuan besaran UKT sejatinya ditentukan berdasarkan ekonomi mahasiswa, tetapi sering tak tepat sasaran.
Dani, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), salah satu yang mengalami kesulitan ini. Ibu Dani yang merupakan orang tua tunggal menanggung UKT Dani Rp 3,6 juta atau UKT golongan IV.
"Posisi orang tua single parent cuma besaran (UKT) tetap masih sangat besar dan keberatan," kata Dani melalui sambungan telepon, Rabu (15/5).
Selama ini, ibu Dani menjalankan berbagai pekerjaan. Selain di salon kecantikan, ibunya juga berjualan pupuk secara online.
Dani mengatakan saat sebelum daftar dirinya sudah mengisi secara jujur kondisi ekonominya.
"Kami disuruh motret rumah gitu-gitu. Dan saya bingung padahal ya sudah potret apa adanya enggak dilebihi enggak dikurangi. Tapi ya masih dapat segitu (UKT tinggi)," beber mahasiswa asal Mojokerto ini.
Untuk menutup biaya UKT, Dani pun terpaksa gali lobang tutup lobang. Bahkan dia sempat mengakses pinjaman online atau pinjol.
"Orang tua gali lobang tutup lobang. Kemarin saya sama orang tua juga nyari-nyari rumah yang mau mengutang tapi yang enggak (terdaftar) OJK," katanya.
"Tetap dalam lingkaran pinjol. Kadang pinjam sini, pinjam sana," jelasnya.
Soal bagaimana nantinya jika utangnya menumpuk, Dani mengaku masih berpikir optimis. Meski kadang juga kekhawatiran terlilit utang yang lebih dalam muncul.
"Alhamdulillah, kadang-kadang ada aja rezeki untuk nutupinya," bebernya.
Dani bercerita sebenarnya ada skema permohonan penurunan besaran UKT di kampus. Namun, sosialisasi tampaknya kurang sehingga mahasiswa kerap kebingungan.
Mereka juga kerap mengurungkan niat untuk menemui rektorat karena kerap mendengar cerita teman-temannya yang gagal menurunkan besaran UKT.
"Malahan teman-teman itu mikirnya pada kerja (untuk bisa bayar UKT)," katanya.
Saat ini Dani berada di semester 4. Artinya masih ada 3 sampai 4 semester lagi masa kuliahnya. Dia berharap dengan maraknya gelombang protes dari para mahasiswa di nusantara, akan muncul kebijakan yang berpihak padanya.
"Tepat sasaran itu penting," tegasnya.
Di sisi lain, selain biaya kuliah, biaya tinggal seperti kos juga cenderung naik tiap tahunnya. Saat ini harga kos paling tidak di angka Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribu per bulan.
Kikin mahasiswa UNY asal Ponorogo juga mengalami hal serupa. UKT-nya di angka Rp 3,6 juta. Ayah Kikin bekerja di Perhutani dan sang ibu rumah tangga.
"Beberapa kali sering mengajukan (UKT turun). Tapi persyaratan kurang masuk akal yang dipaparkan kampus untuk penurunan UKT. Misalnya ada keluarga yang meninggal, terus usaha bangkrut. Bukan latar belakang dari pengusaha kan bingung," kata mahasiswa semester 8 ini.
Sejak semester sampai kini dia tak berhasil menurunkan UKT. Padahal, menurutnya kemampuan keluarganya untuk UKT di angka Rp 1 sampai 2 juta.
Selama 8 semester ini, orang tua Kikin pun harus berutang untuk membayar UKT. Menurutnya utang adalah alternatif yang paling memungkinkan.
"Sempat dan beberapa kali terjadi (uang saku diturunkan besarannya untuk bayar UKT)," jelasnya.
Kehabisan Kelas
Kikin cerita karena sempat telat bayar UKT dia pun kehabisan kelas saat mengisi Kartu Rencana Studi (KRS).
"Kebetulan belum lama ini ada kasus seperti itu," katanya.
Lantaran bayar UKT H-1 sebelum KRS-an, Kikin kehabisan kelas mata kuliah MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka).
"MBKM yang tersisa adalah mata kuliah dari fakultas lain misal FMIPA, matematika. Kan ya bingung juga," jelasnya.
Sementara itu penjelasan kampus itu adalah konsekuensi membayar telat. Padahal MBKM di luar prodinya tak sesuai dengan kebutuhannya.
"Sering kehabisan kelas tapi tidak ada solusi. Terpaksa ambil di luar prodi dan seadanya," katanya.
Kata Kemendikbudristek
Sementara itu, Plt. Sekretaris Dirjen Dikti Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, mengungkapkan bahwa penentuan besaran uang kuliah tunggal (UKT) yang harus dibayarkan oleh mahasiswa ditentukan dari data-data pribadi mahasiswa tersebut.
Data tersebut mencakup penghasilan yang dari orang tua mahasiswa, aset yang dimiliki keluarga mahasiswa hingga tanggungan dari keluarga mahasiswa.
Dari data tersebut, nantinya akan dipertimbangkan berapa besaran UKT yang cocok untuk selanjutnya dibayarkan oleh mahasiswa tersebut.
"Dasarnya apa? Perguruan tinggi di dalam menetapkan UKT, mengenakan UKT kepada mahasiswanya didasarkan pada data-data. Makanya pada saat daftar ulang pertama kali itu ada berapa penghasilan ibu? Berapa penghasilan bapak? Berapa kemudian tanggungan saudara kandungnya atau tanggungan anaknya? Berapa kemudian contohnya dilampirkan foto rumahnya? Berapa tagihan listriknya? Berapa kemudian PDAM-nya?" ujar Tjitjik dalam paparannya di kantor Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Rabu (15/5).
Data ini dibutuhkan sebagai syarat daftar ulang agar besaran UKT mahasiswa dapat ditentukan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarganya.
Hal ini juga sebagai langkah agar penentuan UKT kuliah menjadi tepat sasaran kepada keluarga mahasiswa yang betul-betul membutuhkan.
"Ini tujuannya untuk apa? Untuk memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat bergotong-royong dalam pembiayaan pendidikan tinggi secara berkeadilan. Jangan sampai anaknya tukang becak dikenakan UKT 5 juta," ucap Tjitjik.
Sumber: kumparan.com
0 Komentar