Jakarta, 30 Oktober 2024 - YIFoS Indonesia, Inti Muda Indonesia, dan Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi yang berjumlah 46 organisasi masyarakat sipil menggelar Diskusi Publik Daring dengan tema "Peran Pemuka Agama dalam Eliminasi Stigma & Diskriminasi HIV dengan Mendorong RUU Penghapusan Diskriminasi Komprehensif". Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan peran lintas sektor dalam edukasi dan penghapusan stigma HIV serta mengeksplorasi pentingnya mendorong kebijakan inklusif, seperti RUU Penghapusan Diskriminasi, untuk mendukung layanan kesehatan bagi ODHIV dan orang muda ragam SOGIESC.
Salah satu hal yang disoroti dalam diskusi ini adalah stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV dan individu ragam SOGIESC yang masih kerap terjadi, termasuk di layanan kesehatan. Padahal akses terhadap layanan kesehatan yang inklusif dan non-diskriminatif merupakan hak fundamental bagi semua orang. Kenyataannya masih banyak ODHIV dan individu ragam SOGIESC yang mengalami perlakuan yang tidak adil di layanan kesehatan.
Lebih lanjut, ruang keimanan yang sejatinya dapat menjadi tempat untuk mendapatkan dukungan emosional dan spiritual, sayangnya, belum seluruhnya inklusif. Beberapa pemuka agama dan anggota komunitas keimanan masih memegang pandangan konservatif atau negatif terkait HIV serta individu ragam SOGIESC, yang pada akhirnya menciptakan suasana yang tidak mendukung bagi individu-individu ini. Hal ini berkontribusi pada enggannya kelompok ini untuk mengakses layanan kesehatan yang sebenarnya dibutuhkan.
Missael Napitupulu, Koordinator Nasional YIFoS, menyampaikan terkait situasi HIV di Indonesia terkini dan bagaimana YIFoS merespon melalui Program Indonesia Healthy Cities with PRIDE lewat kampanye Faith in Action. Kampanye ini dilakukan bersama 5 pemuka agama dan penghayat kepercayaan sebagai bentuk kolaborasi dalam edukasi dan Eliminasi Stigma terkait HIV dan orang muda ragam SOGIESC.
Pemuka agama yang terlibat dalam kampanye Faith In Action juga hadir dalam pertemuan ini. Jo Priastana, akademisi Agama Buddha, berkomitmen untuk melawan stigma HIV dan mempromosikan inklusi melalui ajaran karuna (belas kasih) dan prajna (kebijaksanaan). Ia percaya semua makhluk, termasuk ODHIV, berhak bahagia. Dengan menggabungkan meditasi, kebijaksanaan, dan tindakan nyata, Pak Jo terdorong untuk menciptakan ruang inklusif bagi ODHIV dan menekankan bahwa perawatan diri—baik spiritual maupun kesehatan—penting untuk kesejahteraan holistik. Ajaran Buddha mendukung masyarakat penuh kasih dan inklusi tanpa diskriminasi.
Aldi Destian Satya, perwakilan dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, berkomitmen melawan stigma HIV di komunitasnya. Melalui ajaran Khonghucu, ia menekankan pentingnya keseimbangan fisik, mental, dan spiritual, termasuk bagi ODHIV. Aldi percaya bahwa stigma hanya bisa dihapuskan dengan sikap tenggang rasa dan sikap memanusiakan manusia melalui cinta kasih. Dengan menyediakan dukungan emosional dan fasilitas untuk ODHIV, ia berharap semua orang dapat diperlakukan dengan martabat dan kasih sayang.
Pendeta Yosa Hetharie, pemuka agama Kristen, merangkul ODHIV dengan kasih dan harapan. Ia mengajarkan bahwa HIV bukanlah akhir, melainkan awal dari penerimaan kasih Tuhan yang tak terbatas. Di tengah stigma, Pendeta Yosa memberikan dukungan rohani dan memastikan akses perawatan yang layak. Baginya, kasih Yesus melampaui batas dan memanggil semua orang untuk berserah dengan iman yang teguh.
Gus Fahmi Syaifudin, dari Pesantren Ekologi Misykat Al-anwar, mengajak kita untuk merangkul ODHIV dengan kasih dan pemahaman. Ia menekankan bahwa Islam adalah agama yang penuh kasih sayang dan keadilan, sesuai dengan QS. An-Nahl: 90. Dengan mengutip hadits Nabi, Fahmi menegaskan pentingnya mencintai sesama tanpa diskriminasi. Baginya, kita diajarkan untuk merangkul semua orang dengan empati, menjadi rahmat bagi seluruh alam sesuai QS. Al-Anbiya: 107. Selain itu, menurut beliau ada 5 peran yang bisa dilakukan oleh pemuka agama yakni dengan memberikan edukasi yang akurat tentang HIV, menanamkan nilai-nilai agama yang inklusif, serta mendampingi secara spiritual dan emosional. Melalui khotbah dan ceramah, mereka dapat mengajarkan bahwa ODHIV berhak atas penghormatan dan dukungan tanpa penilaian moral, sehingga membantu menghilangkan stigma dalam komunitas. Pemuka agama juga dapat menjadi teladan penerimaan, mendorong komunitas mereka untuk bersikap inklusif, serta berkolaborasi dalam advokasi kebijakan yang melindungi hak ODHIV di bidang kesehatan, pekerjaan, dan pendidikan.
Dr. Robi Nurhadi, Forum Kerukunan Umat Beragama DKI turut berpendapat mengenai bagaimana stigma seringkali dikaitkan dengan agama tertentu, padahal datang dari individu tertentu. Hablum minannas menjadi landasan bahwa kita perlu untuk menjaga hubungan kita terhadap sesama manusia. Selain itu mengedepankan Sifat rahmah yang berarti sifat kasih sayang dan kelembutan hati yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Saffah Salisa Azzahro’, peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS) berpendapat bahwa diskriminasi dapat terjadi bagi siapa saja dan perlu ada kebijakan yang secara tegas mengakomodir kebutuhan tersebut. RUU Penghapusan Diskriminasi Komprehensif hadir sebagai langkah konkret untuk mengakhiri berbagai bentuk diskriminasi di Indonesia. Ia menyoroti pentingnya peran pemuka agama dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam sosialisasi terkait nilai-nilai anti diskriminasi dan menghapus budaya stigma. Melalui pendekatan sosial pemuka agama diharapkan menjadi agen utama dalam menghapus stigma dan diskriminasi, khususnya terhadap kelompok rentan seperti orang dengan HIV AIDS serta individu dengan keberagaman orientasi seksual dan identitas gender.
Endang Lukitosari, Ketua Tim Kerja HIV/AIDS, Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Direktorat P2PM, merespons “Dalam pelibatan & peran pemuka agama pada eliminasi stigma & diskriminasi HIV ini memang perlu adanya role model, champion atau inovasi dalam penanganan isu HIV di Indonesia”. Tentu hal ini dilihat dapat menjadi peluang kolaborasi bersama. Pelibatan pemuka agama menjadi inisiasi yang baik dalam mendukung upaya promosi kesehatan lintas sektor. Sebagai langkah primordial prevention dalam pencegahan perilaku berisiko.
Narahubung
0 Komentar