Kemacetan Parah Di Pintu Perlintasan Stasiun Kereta Api Delanggu.

Daftar Isi
Kemacetan Parah Di Pintu Perlintasan Stasiun Kereta Api Delanggu.
KLATEN-growmedia-indo.com
Sebuah kejadian tak elok kembali terulang, seorang jurnalis dilarang meliput dan bertemu dengan Kepala Stasiun Kereta Api Delanggu, dengan alasan birokrasi dan perizinan, padahal jurnalis tersebut telah menunjukkan KTA identitas dan surat tugasnya pada petugas jaga di Stasiun Kereta Api Delanggu (30/03/2025).


Kejadian ini menimpa salah seorang jurnalis media online bernama Sutopo, saat dirinya hendak meliput pantauan arus mudik, dari jalur kereta api Solo-Jogya yang berhenti di Stasiun Kereta Api Delanggu. Awalanya dirinya ditanyakan terkait legalitas KTA dan Surat Tugas, namun alih-alih diperkenankan melakukan konfirmasi berita, dan melakukan liputan, secara halus dikatakan oleh petugas jaga (AD) bahwa : 

"Untuk bisa meliput dan bertemu dengan Kepala Stasiun Kereta Api Delanggu, harus mengajukan surat Perizinan dari kantor KAI pusat di Jogya mas, sebelum ada surat tersebut kita tidak bisa mengijinkan untuk liputan dan wawancara dengan Kepala Stasiun" terang petugas jaga tersebut.


Sontak Sutopo, yang merasa dirinya ditolak masuk ke stasiun hanya untuk mengambil gambar orang mudik dan meminta konfirmasi pada Kepala Stasiun terkait situasi arus mudik 2025, menjadi kecewa dan sangat menyayangkan terkait kejadian tersebut.

"Sebelumnya saya banyak mendengar bahwa lalu lintas di sekitar persimpangan kereta api tersebut begitu padat dan membuat macet, antrean begitu panjang kendaraan bermotor, baik roda 2 maupun roda 4, ditambah durasi palang kereta yang begitu lama proses buka-tutupnya, padahal intensitas kereta lewat dipalang perlintasan tersebut begitu sering dan padat jadwalnya, kita baru berhasil menyebrang ke timur sebentar, sesaat kemudian ketika mau ke barat kita pasti akan terhalang lagi oleh pintu perlintasan, yang lama sekali durasinya, padahal kepadatan arus mendekati lebaran ini semakin padat, maka mau tak mau antrian semakin panjang. Hal tersebut yang mendasari keinginan saya guna bertanya lebih lanjut pada Kepala Stasiun Delanggu," jelas Sutopo saat di tanyakan awak media terkait kejadian yang menimpanya.

Sutopo menambahkan "Sebagai jurnalis tentu saya gerah dan prihatin atas kejadian tersebut, dan menyayangkan sikap dari petugas jaga Stasiun Delanggu yang terkesan mengada ada, sebab hanya untuk konfirmasi dan melihat langsung kepadatan arus mudik yang menggunakan kereta saja harus pakai birokrasi yang berbelit." terangnya.

Terpisah Putra salah seorang rekan Sutopo merasa prihatin dan ikut menyayangkan sikap petugas jaga Kereta Api Stasiun Delanggu tersebut yang seolah terkesan menghalangi "Padahal seperti diketahui bersama, Dasar jurnalis ke lapangan adalah, UU No 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Dalam hal ini informasi publik adalah suatu kewajiban pemerintah untuk memberikan akses yang cukup dan mudah bagi masyarakat guna memperoleh informasi yang diperlukan. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan kebijakan dan mengambil keputusan yang tepat." terangnya.


Lebih lanjut dikatakan "Bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi,  pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional, bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis." terang Putra.


"Sementara Tupoksi sebagai wartawan atau jurnalis yakni "Selain tugas utamanya sebagai penjaga kebenaran dan penyampai informasi, ia juga memainkan peran dalam menyuarakan suara-suara yang tidak terdengar dan memicu perubahan sosial. Jurnalis juga harus beradaptasi dengan berbagai platform baru untuk menyampaikan informasi dengan cara yang menarik dan relevan. Dan harus dipahami juga bahwa Jurnalis di lindungi oleh Konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yakni pasal Pasal 18 ayat (1) UU Pers di mana menghalangi wartawan melaksanakan tugas jurnalistik dapat dipidana 2 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta. Sampai disini semestinya itu menjadi sebuah bahan pertimbangan bagi para pejabat maupun petugas dan instansi pemerintah bahwa keberadaan jurnalis adalah guna kebutuhan informasi, karenanya bila di menghalang-halangi bisa berakibat dengan tuntutan hukum sesuai peraturan yang berlaku di Indonesia yang merupakan negara hukum." imbuhnya.


Jadi "Menurut saya ada sesuatu yang musti jadi evaluasi dalam hal ini, dimana jurnalis telah mencoba upaya untuk langkah konfirmasi dari sebuah persoalan yang ada guna kebutuhan keberimbangan informasi, namun disisi lain ada semacam penolakan yang dilakukan oleh Petugas Jaga Stasiun Kereta Api Delanggu, ini justru menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan orang KAI, khususnya yang berada di Delanggu, sehingga ada penolakan terhadap jurnalis, yang hendak mengabarkan sebuah berita?...atau justru barangkali ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi dengan kejadian ini?.. beragam asumsi liar pastinya akan berkembang di luar, selama belum ada klarifikasi dan penjelasan dari pihak terkait." papar Putra.


"Lalu bagaimana berita bisa berimbang bila di pihak Kepala Stasiun sendiri enggan memberikan penjelasan bahkan enggan ditemui, karena itu semestinya ada evaluasi dan saling introspeksi diri dalam hal ini jurnalis juga harus dihargai profesinya bukan justru malah di hindari, bilamana mau ada keberimbangan dan ada penghargaan terhadap sebuah profesi, tentunya semua pihak harus saling menjaga dan saling menghargai antar profesi dan tupoksinya masing-masing." pungkasnya. 

Hingga berita ini diturunkan jurnalis Sutopo, tersebut belum juga bisa berkomunikasi dengan Kepala Stasiun Delanggu. Dan kepadatan arus mudik menjadi bagian tak terelakan dari kemacetan parah disekitar perlintasan Stasiun Kereta Api Delanggu.

( Pitut Saputra)

Posting Komentar