Sejarah Kelapa di Kepulauan Mentawai
Oleh :Marjafri FB
Share: Hendrix Lumbanraja
kebaikan masa lalu:Narasi diartikan masih belajar:
"Tentang Penanaman Pohon Kelapa di Pulau Mentawai (Sebelum 1909)"
Pulau Mentawai kurang dikenal oleh penduduk Hindia Belanda. Letaknya di sebelah barat pesisir Sumatra, tepatnya di barat Padang. Jika kita berlayar dari Padang, butuh waktu satu hari untuk mencapai pulau-pulau ini.
Empat pulau besar di Kepulauan Mentawai adalah Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, ditambah banyak pulau kecil yang juga bermanfaat untuk menanam pohon kelapa.
Seperti disebutkan sebelumnya, Pulau Mentawai kurang dikenal di Hindia Belanda. Namun, sudah ada pedagang dari Padang, baik Melayu maupun Tionghoa, yang berdagang dengan penduduk Mentawai. Perdagangan ini menguntungkan para pedagang karena penduduk Mentawai tidak mengetahui harga pasar dengan baik, sehingga mereka menjual kelapa dengan harga murah.
Penduduk Mentawai sangat berbeda dengan masyarakat di Hindia Belanda. Mereka tidak memiliki agama dan tidak mengenal banyak hal yang bermanfaat bagi manusia. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama: pertama, letaknya yang jauh dari pesisir barat Sumatra, dan kedua, kondisi pantainya yang kurang baik untuk perahu berlabuh.
Baru pada tahun 1904, pemerintah Hindia Belanda mulai menyelidiki Pulau Mentawai secara serius. Sebelumnya, hanya kapal perang yang sesekali mengunjungi teluk dan melakukan survei laut. Ada seorang Melayu yang memiliki wewenang di pulau ini, tetapi ia hanya menggunakan perahu layar sehingga butuh beberapa hari untuk mencapai Padang. Kapal milik pemerintah Belanda mulai rutin berlayar ke Mentawai sejak tahun 1904.
Sejak itu, orang Belanda mulai memerintah Pulau Mentawai, dan kapal pemerintah secara rutin berlayar antara Padang dan Mentawai. Pemerintah juga mengirim tentara untuk menjaga ketertiban. Namun, hingga saat ini, penduduk Mentawai masih belum sepenuhnya memahami manfaat berbagai hal sebagaimana orang Melayu di pesisir Sumatra Barat.
Kapal-kapal pemerintah hanya digunakan oleh pejabat yang bertugas di pulau-pulau tersebut dan untuk mengangkut tentara. Kapal ini juga digunakan untuk membawa orang sakit ke Padang serta mengangkut makanan dari pesisir barat Sumatra. Karena itu, para pedagang yang ingin berdagang ke Mentawai tidak dapat ikut serta dalam kapal ini.
Kapal dagang dari perusahaan pelayaran Paketvaart mulai mengunjungi Pulau Siberut, terutama ke Pelabuhan Muara Saibi. Namun, kapal ini hanya datang sebulan sekali dari Padang dan sekali lagi dari Sabang. Sayangnya, kapal Paketvaart tidak bermanfaat bagi penduduk setempat karena tarifnya terlalu mahal, dan tidak ada kapal yang menghubungkan Siberut dengan pulau lainnya.
Pemerintah Belanda menempatkan pejabat di Muara Saibi, yang membawahi pejabat di Sipora (bermarkas di Sioban) dan Pagai Utara (bermarkas di Saumanganyak). Pejabat di Muara Saibi memiliki kapal bermotor, tetapi kapal ini tidak dapat digunakan untuk mengangkut barang dagangan. Pedagang dari Pariaman dan Padang hanya bisa menggunakan perahu layar besar.
Perahu-perahu ini secara rutin berlayar antara Pariaman dan Padang, membawa beras, tembakau, gula, manik-manik, cermin, peralatan rumah tangga, dan lainnya untuk ditukar dengan kelapa, rotan, penyu, teripang, dan hasil alam lainnya dari Mentawai. Pemilik perahu layar ini adalah orang Tionghoa dan Melayu. Penduduk Mentawai juga memiliki perahu, tetapi mereka tidak bisa berlayar jauh ke laut. Biasanya, 20–25 orang bisa naik dalam satu perahu, dan hanya bisa digunakan untuk berlayar antar pulau di Mentawai, tetapi tidak sampai ke Pariaman.
Penduduk Mentawai mengumpulkan rotan, meskipun pekerjaan ini cukup berat, karena mereka lebih suka tidak bekerja keras. Pekerjaan mencari rotan lebih banyak dilakukan oleh orang Melayu. Namun, hampir setiap orang Mentawai menanam pohon kelapa.
Menanam kelapa di Mentawai sudah menjadi tradisi. Biasanya, setelah seorang anak lahir, orang tuanya mulai membuka ladang dan menanam pohon kelapa di sana. Seiring bertambahnya usia anak, pohon kelapanya pun tumbuh dan menjadi kebun kelapa. Kebun ini biasanya dekat kampung, di pesisir, atau di pulau-pulau kecil di sekitar pulau besar. Tidak ada kepemilikan tanah yang jelas di Mentawai, sehingga setiap orang bisa mencari tanah dan menggarapnya sesuai kebutuhan.
Selain menanam kelapa karena tradisi kelahiran anak, penduduk Mentawai juga memperbesar kebunnya karena mereka mengonsumsi banyak kelapa, umbi-umbian, dan sagu, serta memberi kelapa kepada ayam dan babi peliharaan mereka. Selain itu, mereka bisa menukar kelapa dengan barang-barang dari pedagang Padang, seperti senjata, perkakas besi, garam, beras, dan kain.
Pakaian penduduk Mentawai sangat sederhana. Mereka hanya mengenakan cawat dan manik-manik di leher. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, mereka mulai tertarik mengenakan pakaian karena melihat banyak tentara Belanda berpakaian lengkap. Meski begitu, mereka tidak membeli pakaian baru, melainkan lebih suka pakaian bekas selama masih bisa dipakai.
Sebelum bertemu dengan orang Belanda, penduduk Mentawai tidak mengenal uang. Jika mereka mendapatkan uang dari pedagang, mereka menggunakannya sebagai perhiasan, bukan alat tukar. Untuk berbelanja, mereka harus menukar barang, seperti kelapa dengan beras atau garam. Namun, setelah bertemu tentara Belanda, mereka mulai menerima uang, meskipun hanya untuk disimpan.
Budidaya Kelapa di Mentawai
Di Hindia Belanda dan India Inggris, budidaya kelapa sudah dilakukan secara luas sejak lama. Di Ceylon (Sri Lanka), kelapa mulai ditanam secara serius sejak tahun 1840. Antara tahun 1860 hingga 1900, lahan perkebunan kelapa bertambah dari 140 ribu menjadi 220 ribu hektar. Ini menunjukkan betapa pentingnya kelapa bagi dunia, terutama setelah ditemukan cara mengolahnya menjadi kopra, yang membuat produksinya lebih efisien.
Asal-usul kelapa masih diperdebatkan. Beberapa pohon kelapa tumbuh secara alami di pesisir dan jatuh ke laut, lalu terbawa arus ke daerah lain, hingga tumbuh di pulau-pulau kecil di sekitar Mentawai. Namun, tanpa perawatan manusia, pohon kelapa yang tumbuh liar cenderung tidak beraturan dan menghasilkan buah yang kurang berkualitas.
Pohon kelapa tumbuh dengan baik di daerah yang memiliki kelembapan tinggi. Di Mentawai, tanah dan iklim sangat cocok untuk pertumbuhan kelapa, kecuali di dataran tinggi di atas 800 meter. Sebagian besar tanah di Mentawai subur dan dapat digunakan untuk perkebunan kelapa, terutama di pesisir dan sepanjang sungai.
Namun, penduduk Mentawai tidak terlalu peduli dengan kebun kelapa mereka. Mereka tidak membersihkan kebun, tidak menggunakan pupuk, dan hanya mengambil buah jika dibutuhkan. Jika mereka memahami cara perawatan yang baik, produksi kelapa bisa meningkat pesat. Sebagai gambaran, satu pohon kelapa yang tidak dipupuk menghasilkan 30–40 buah per tahun, sementara jika dipupuk dengan baik, bisa mencapai 125 buah.
Pupuk sangat penting untuk meningkatkan hasil panen. Awalnya, pupuk alami seperti kotoran ternak digunakan, tetapi kini sudah ada pupuk buatan dari Eropa yang lebih efektif, seperti kainiet (kaya garam mineral) dan pupuk fosfat. Jika digunakan dengan benar, hasil panen bisa meningkat lebih dari 50%.
Namun, penduduk Mentawai tidak terbiasa menggunakan pupuk karena mereka tidak memiliki ternak seperti sapi atau kuda, kecuali beberapa ekor yang dimiliki orang Melayu di Benteng untuk kebutuhan tentara.
Kelapa biasanya dipanen setiap dua bulan sekali. Namun, penduduk Mentawai memanen kelapa sesuai keinginan mereka. Sabut kelapa digunakan untuk membuat tali atau tikar, tetapi sering kali dibuang begitu saja, menyebabkan lingkungan menjadi kotor. Setelah pemerintah Belanda mengontrol Mentawai, penduduk mulai diperintahkan untuk menjaga kebersihan kampung mereka.
Kopra dibuat dengan cara mengeringkan daging kelapa. Produk ini sangat penting di Eropa untuk pembuatan sabun, mentega, lilin, dan minyak. Dari 120 butir kelapa, bisa dihasilkan sekitar 10,5 liter minyak kelapa atau 24 kg kopra.
Dengan memahami manfaat kelapa, masyarakat Mentawai bisa meningkatkan taraf hidup mereka melalui budidaya kelapa yang lebih baik.
Posting Komentar